Pulau Bangka
Pulau Bangka adalah sebuah
pulau yang terletak di sebelah
timur Sumatra,
Indonesia dan termasuk dalam wilayah
provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Populasinya pada
2004 berjumlah 789.809 jiwa. Luas pulau Bangka ialah 11.693.54 km².
Bangka menurut bahasa sehari-hari masyarakat Bangka mengandung arti
"sudah tua" atau "sangat tua", sehingga pulau Bangka dapat diartikan
sebagai "pulau yang sudah tua". Bila merujuk pada kandungan bahan galian
yang terdapat di daerah ini, pulau Bangka banyak mengandung bahan-bahan
galian mineral yang tentunya terjadi dari proses alam yang berlaku
berjuta-juta tahun. Salah satu contohnya adalah bahan galian timah, oleh
karenanya masyarakat menyebutnya dengan sebutan Pulau Bangka.
Kata bangka dapat juga berasal dari kata wangka yang artinya
timah.
Karena di daerah ini ditemukan bahan galian timah, maka disebut Pulau
Timah. Karena pergeseran atau bunyi bahasa yang berubah maka masyarakat
lebih lekat memanggil pulau ini dengan kata Pulau Bangka atau pulau
bertimah. Menurut cerita rakyat, Pulau Bangka tidak mempunyai penduduk
asli, semua penduduk adalah pendatang dari suku yang diberi nama suku
sekak. Masyarakatnya masih menganut animisme. Kemudian masuk bangsa
melayu dari daratan malaka dengan membawa agama Islam yang kemudian
berkembang sampai sekarang.
No |
Kabupaten/kota |
Ibu kota |
Luas wilayah |
Kecamatan |
Desa |
Kelurahan |
Penduduk |
1 |
Bangka |
Sungailiat |
2,950.68 |
8 |
60 |
9 |
231,793 |
2 |
Bangka Barat |
Mentok |
2,890.61 |
5 |
53 |
4 |
140,323 |
3 |
Bangka Tengah |
Koba |
2,155.77 |
4 |
39 |
1 |
129,469 |
4 |
Bangka Selatan |
Toboali |
3,607.08 |
5 |
45 |
3 |
147,039 |
5 |
Pangkal Pinang |
Pangkapinang |
89.40 |
5 |
|
35 |
147,039 |
|
Total |
5 |
11,693.54 |
27 |
197 |
52 |
789,809 |
Sumber: Data BPS Propinsi Bangka-Belitung
2004
Kondisi geografis
Letak Geografis
Batu Balei di dekat Muntok.
Pulau Bangka terletak di sebelah pesisir Timur
Sumatra Selatan, berbatasan dengan
Laut China Selatan di sebelah utara, Pulau
Belitung di timur dan
Laut Jawa
di sebelah selatan yaitu 1°20’-3°7 Lintang Selatan dan 105° - 107°
Bujur Timur memanjang dari Barat Laut ke Tenggara sepanjang ± 180 km.
Pulau ini terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dan puncak
bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan
bakau. Rawa daratan pulau Bangka tidak begitu berbeda dengan rawa di
pulau
Sumatera,
sedangkan keistimewaan pantainya dibandingkan dengan daerah lain adalah
pantainya yang landai berpasir putih dengan dihiasi hamparan batu
granit.
Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah ± 2.950,68 km², dengan jumlah
penduduk tahun 2003 sebanyak 217.545 jiwa. Batas wilayah Kabupaten
Bangka adalah sebagai berikut :
Iklim dan Cuaca
Iklim Pulau Bangka adalah tropis Type A dan musin hujan terjadi pada
bulan Juni – Desember. Rata-rata curah hujan dalam satu tahun = 220 hari
atau 343,7 mm perbulan. Suhu udara rata-rata 26 °C – 28,1 °C dengan
kelembaban udara sekitar 76-88.
Menurut data Meteorologi Pangkalpinang pada tahun 1998, iklim di
Kabupaten Bangka adalah iklim tropis tipe A dengan curah hujan 107,6
hingga 343,7 mm per bulan. Kemudian menurut Schmidt-Ferguson, pada tahun
1999 variasi curah hujan menjadi antara 70,10 hingga 384,50 mm per
bulan. Dengan musim hujan rata-rata terjadi pada bulan Oktober sampai
April. Musim penghujan dan kemarau di Kabupaten Bangka juga dipengaruhi
oleh dua musim angin, yaitu muson barat dan muson tenggara. Angin muson
barat yang basah pada bulan Nopember, Desember dan Januari banyak
memengaruhi bagian utara Pulau Bangka. Sedangkan, angin muson tenggara
yang datang dari
laut Jawa
memengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka. Jumlah curah hujan,
hari hujan, arah angin dan kecepatan angin rata-rata setiap bulannya
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Demografi
Kependudukan
Hingga tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka berjumlah
217.545 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan
perempuan 110.337 jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2.
Konsentrasi penduduk terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat
(379,13 jiwa/km2) yang juga merupakan ibukota Kabupaten Bangka sedangkan
yang terendah di Kecamatan Bakam (30,81 jiwa/km2).
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan di Kabupaten Bangka Tahun 2003
Kecamatan |
LuasDaerah(km²) |
Laki-laki(jiwa) |
Perempuan
(jiwa) |
Jumlah
(jiwa) |
Kepadatan
(jiwa/km²) |
Sungailiat |
146,38 |
28.780 |
26.710 |
55.490 |
379,13 |
Bakam |
488,10 |
7.117 |
7.921 |
15.038 |
30,81 |
Pemali |
127,87 |
8.520 |
8.637 |
17.157 |
134,18 |
Merawang |
164,40 |
12.017 |
12.967 |
24.984 |
151,97 |
PudingBesar |
383,29 |
6.811 |
6.506 |
13.317 |
34,74 |
MendoBarat |
570,46 |
14.575 |
18.958 |
33.533 |
58,78 |
Belinyu |
546,50 |
19.678 |
19.003 |
38.681 |
70,78 |
RiauSilip |
523,68 |
9.715 |
9.630 |
19.345 |
36,94 |
Jumlah |
2.950,68 |
107.213 |
110.332 |
217.545 |
74 |
Ekonomi
Sejak
1710, Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah penghasil
timah
terbesar di dunia. Proses produksi timah saat ini dikuasai sepenuhnya
oleh pemerintah Indonesia. Selain sumber perekonomian masyarakat Pulau
Bangka adalah dari sektor pertanian yaitu Lada,
merica, karet, dan kelapa sawit juga dihasilkan di pulau Bangka.
Sejarah
Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan
Palembang, karena runtuhnya kekuasaan Kesultanan Palembang kemudian wilayah Bangka diserahkan ke tangan
Inggris pada
1812. Pada tahun
1814, oleh pemerintah Inggris pulau Bangka dibarter dengan
Cochin di
India yang tadinya milik
Belanda. Pada masa perang dunia ke-2 pemerintah
Jepang yang menjadi pemenang pada saat itu menguasai pulau Bangka dari tahun
1942 hingga
1945. Setelah Jepang pada tahun
1945
menyerah tanpa syarat pada Sekutu seperti halnya hampir seluruh wilayah
Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan, maka pulau Bangka setelah
proklamasi kemerdekaan menjadi bagian dari Indonesia pada
1949. Pulau Bangka bersama dengan pulau Belitung pada awalnya merupakan bagian dari provinsi
Sumatra Selatan hingga tahun
2000 setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia dan terjadi pergolakan pada tahun
1998 yang berujung jatuhnya kekuasaan
rezim Suharto, atas desakan masyarakat di pulau Bangka dan Belitung kemudian pada tahun
2000
pulau Bangka dan pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah
provinsi dan melepaskan diri dari Sumatera Selatan dan disahkan menjadi
sebuah provinsi bernama
Kepulauan Bangka Belitung.
Sriwijaya
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka semasa di bawah kekuasaan kerajaan
Sriwijaya
pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7 dan pulau Bangka
termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu.
Selain sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya, Pulau Bangka juga pernah
menjadi wilayah kekausaan beberapa kerajaan besar dari pulau Jawa
seperti kerajaan
Majapahit ketika itu dibawah kekuasaan Raja
Hayam Wuruk dengan pendampingnya mahapatih
Gajah Mada dan kerajaan
Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.
Namun baik pada masa kerajaan Sriwijawa maupun kerajaan Majapahit
atau pun Mataram pulau Bangka kurang mendapatkan perhatian, meskipun
letaknya yang sangat strategis di tengah-tengah jalur pelayaran lalu
lintas perdagangan internasional. Baru setelah perdagangan dari daratan
Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia pulau Bangka mulai menjadi
perhatian, setelah ditemukannya
rempah-rempah.
Kurangnya perhatian terhadap pulau Bangka dan Belitung menyebabkan
banyaknya bajak laut yang menjadikan pulau Bangka dan Belitung dijadikan
sebagai tempat persembunyian Bajak laut yang berdampak pada penderitaan
bagi penduduknya.
Kesultanan Johor
Untuk mengatasi kekacauan dan keamanan pelayaran di sekitar selat
Malaka, maka
Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan
Raja Alam Harimau Garang
mengerahkan pasukan ke pulau ini. Setelah misi pembebasan pulau Bangka
dan Pulau Belitung berhasil dengan baik, Sultan Johor dan sekutunya juga
mengembangkan agama Islam di tempat kedudukannya masing-masing
Kotawaringin dan
Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Kesultanan Banten
Karena merasa turut dirugikan dengan tidak amanya pelayaran di
sekitar perairan Malaka terutama di sekitar Pulau Bangka dan Belitung,
apalagi setelah dirampasnya kapal-kapal dari pedagang-pedagang dari
Banten maka Sultan
Banten mengirimkan
Bupati Nusantara
untuk membasmi bajak-bajak laut yang beroperasi di sekitar kedua pulau
tersebut. Setelah kedua puleu tersebut berhasil dikuasai kemudian Bupati
Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda.
Diceritakan pula bahwa
Panglima Banten,
Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan
Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat di sana.
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan
Sultan Palembang, yaitu Sultan
Abdurrachman maka dengan sendirinya pulau Bangka dan Belitung kembali menjadi kekuasaan kesultanan Palembang dari tahun(
1659-
1707).
Kesultanan Palembang
Pada tahun
1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya
Ratu Muhammad Mansyur (
1707-
1715).
Namun
Ratu Anum Kamaruddin adik kandung
Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai
Sultan Palembang, menggantikan abangnya (
1715-
1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya
Mahmud Badaruddin menyingkir ke
Johor dan
Siantan, sekalipun secara resmi sudah diangkat menjadi
Sultan Palembang.
Tetapi pada tahun
1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang dari
Sultan Johor merebut kembali
Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh
Mahmud Badaruddin kepada
Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari
Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya
Wan Abduljabar dan
Wan Serin.
Penemuan timah dan VOC
Sekitar tahun
1709 diketemukan
timah, yang mula-mula digali di
Sungai Olin di Kecamatan
Toboali oleh orang-orang
Johor atas pengalaman mereka di
Semenanjung Malaka.
Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh
segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan
penggalian timah pun semakin maju, sehingga
Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun
1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan
VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan
kompeni ini,
Sultan Palembang berusaha membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun
1755 pemerintah
Belanda mengirimkan misi dagangnya ke
Palembang yang dipimpin oleh
Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun
1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan
Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli
timah monopoli, dimana menurut laporan
Van Haak perjanjian antara pemerintah
Belanda dan
Sultan Palembang berisi :
- Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
- Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun
1803 pemerintah
Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh
V.D. Bogarts dan Kapten
Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Jajahan Inggris
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September
1811
telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu
ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak
Inggris, di mana pulau
Jawa dan daerah-daerah takluknya,
Timor,
Makasar, dan
Palembang berikut daerah-daerah takluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke
Palembang untuk mengambil alih
Loji Belanda di
Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh
Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di
Palembang sebelum
kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi.
Raffles merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar
Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan
Belitung.
Pada tanggal 20 Maret
1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke
Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor
Roobert Rollo Gillespie. Namun
Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik “
Divide et Impera”nya.
Gillespie mengangkat
Pangeran Adipati sebagai
Sultan Palembang dengan gelar
Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun
1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap
Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan
Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke
Betawi lewat
Mentok oleh
Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “
Duke of Island” (20 Mei
1812).
Kembali menjadi jajahan Belanda
Kemudian atas dasar
Konvensi London tanggal
13 Agustus 1814,
Belanda
menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya di
tahun 1803 sebelum Napoleon menyerbu Belanda di Eropa, termasuk beberapa
daerah
Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara
M.H. Court (Inggris) dengan
K. Heynes (
Belanda) di
Mentok pada tanggal 10 Desember
1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh
VOC dan Inggris (
EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada
Belanda, yang mulai menggali
timah secara besar-besaran dan sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi.
Perang gerilya yang dilakukan di
Musi Rawas untuk melawan
Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan
Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun
rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian untuk mengusir
Belanda dari daerahnya, di bawah pimpinan
Depati Merawang,
Depati Amir,
Depati Bahrin, dan
Tikal serta lainnya.
Kemudian istri
Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di
Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri
Sultan Mahmud ini adalah anak dari
Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa
Wan Abduljabar adalah putra kedua dari
Abdulhayat seorang kepercayaan
Sultan Johor untuk pemerintahan di
Siantan,
Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Tiongkok bernama
Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke
Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan
Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh
Sultan Johor menjadi kepala Negeri di
Siantan.